***
Grit's POV*
"Kas, sampai kapan Vivi mau dikurung dalam es itu?"
Aku memasuki kamar Lukas di villa kami tanpa mengetuk pintu. Lukas yang saat itu sedang meneguk secangkir kopi hanya diam sambil mengaduk-aduk sendok kecil di kopinya itu. Kulihat ia menundukkan kepalanya, berpikir.
"Gue ga tega, sahabat gue dikurung dalam es kea gitu."
"Tapi bahaya kalau dia kita lepasin dan dia nyerang lu lagi, dan..." Lukas meletakkan kopinya dan menatap mataku lekat-lekat.
"BIAR! Gue yakin dia ga bakal nyerang gue lagi, dia itu VIVIAN, Kas! Sahabat kita! Lu ga percaya ma Vivi?" aku memotong kata-katanya, mendekati Lukas dan mencengkeram rambutnya. Lukas menatapku dan segera kubalas tatapannya. Nafas kami terdengar tidak karuan, emosi.
"Heh! Udah! Cukup!" Novi masuk, memisahkanku dan Lukas. "Kalian ini kenapa sih? Apa kalian pikir berantem bakal bikin Vivian senang? Udah gila ya?"
"Habisnya...Vivi..."
Lukas menghela nafas, kemudian mengambil kopinya dan mulai beranjak dari ruangan, sebelum sampai ke pintu ia berbalik dan melotot padaku.
"Gue bakal ngebebasin Vivi..." gumam Lukas. "Kalau gue ngerasa udah saatnya."
Kemudian Lukas menghilang di pintu, aku menggigit bibirku dengan kesal sementara Novi masih diam terpaku di sebelahku, tak bersuara sedikitpun. Akhirnya aku membanting pintu kamar itu dan memutuskan pergi ke garasi. Semoga aku bisa menemukan tempat dimana aku bisa mengistirahatkan pikiranku.
***
3rd Person POV
"Vivi..."
Vonny memeluk tubuh Vivi yang terbungkus oleh es serasa terisak pelan. Yah, mereka memang sahabat yang akrab sejak dulu. Yuni berada di sebelahnya, tak bersuara dengan matanya menatap mata Vivian yang terbelalak di dalam es. Pintu terbuka, Stella melangkah masuk dengan secangkir kopi di tangannya masing-masing.
"Istirahatlah dulu Von, Yun, kalian pasti capek ngejagain Vivi tiap hari sejak dia membeku seperti itu." Stella mendekat, memberikan kopi di tangannya pada Vonny dan Yuni, mereka tersenyum lemah seraya meneguk kopi pemberian Stella.
"Stella, gue khawatir sama Vivi." kata Vonny jujur, Stella menggeser duduknya mendekat ke arah Vivian, kemudian mengelus wajahnya yang terbungkus es padat, menggigit bibirnya. "Gue juga, sangat... tapi Lukas tidak memperbolehkan kita untuk membebaskannya sampe yakin benar Vivian tidak akan berontak lagi." sambung Stella, Yuni meletakkan cangkir kopinya dan mendengus kesal.
"Apa Lukas ga percaya lagi ma Vivi? Atau dia memang punya dendam sama Vivian?" Yuni sudah mulai mencurigai Lukas, Stella menatap Yuni dengan tatapan penuh tanda tanya. "Yah, gue cuma bercanda kok, ga mungkin ya?"
"Iya, jangan sampai kita benci ma Lukas gara-gara masalah ini." kata Vonny lagi. Yuni menghela nafas, kemudian menghabiskan kopinya.
Bel villa itu berbunyi, mereka berlima segera menuju ke pintu masuk villa, pintu dibuka, dan terlihatlah sosok seorang pria yang sedang tersenyum manis.
"Kakak!" Novi segera berlari, memeluk cowok itu, cowok itu adalah kakak angkat Novianna, Antonio yang hanya lebih tua beberapa bulan dari mereka semua. Antonio tersenyum, kemudian Novi melepaskan pelukannya. "Ngapain kemari, kak?" tanyanya dengan nada heran bercampur senang.
"Nggak, cuma takut kalau kalian ada masalah di sini, gimana? Villa dan liburannya fine-fine aja kan?" tanya Antonio, berpaling ke arah Lukas, Lukas mengangguk seraya tersenyum.
"Cukup baik deh Ton, mau masuk dulu? Biar kami suguhin kopi hangat."
"Boleh..." Antonio melangkah masuk, duduk di sofa dan mereka mulai mengobrol. Yuni menghidangkan secangkir kopi sedangkan Stella dan Novi segera mengambil tempat di sebelah Antonio untuk mengobrol, Lukas dan Grit duduk di hadapan Antonio.
"Wah Ton, lu sibuk banget ya? Udah lama tahu ga keliatan, kirain udah ditelan black hole!" canda Vonny, memang, Antonio adalah seorang detektif terkenal.
"Ngawur lu, gue cuma dapet kasus yang lumayan susah aja kok." Antonio tertawa santai, kemudian mulai meneguk kopinya. "Kopinya enak."
"Thanks, kalau bisa jaga kesehatan lu dong Ton!" ujar Stella sewot, Vonny mengangguk disusul oleh tawa mereka bersamaan.
"Yah, kalau bisa gue selalu mau istirahat kok." jawab Antonio lagi, ia meletakkan cangkir kopi di meja. "Tapi gue ga bakal STOP, sampai gue nangkep The Messenger Of DEATH!"
"Nyuutt!"
"Eh, Sorry, gue mau ke toilet dulu." Novi bangkit, berjalan ke belakang, Antonio bengong sesaat, tapi kemudian tersenyum lagi dan melanjutkan obrolan dengan Lukas sementara Vonnu menyusul Novi ke belakang. Novi berjalan perlahan di koridor yang gelap, menuju ke arah dapur diikuti oleh Vonny, ia membuka laci lemari dapur dan mengambil sebuah pisau. Vonny menatapnya dengan tatapan horor, mata Novianna kini persis seperti mata Vivian sewaktu kehilangan kendali, ia diam, berjalan mendekati Vonny.
"Jangan..." Vonny mundur, langkahnya yang lemas membuatnya terjatuh ke lantai, ia berusaha mundur secepat mungkin, tapi Novi semakin mendekat, tersenyum lebar.
"Jangan..." ucap Vonny lagi, ia mengganti posisinya menjadi merangkak, berusaha untuk kabur, menyadari jiwanya terancam. Novi sudah tepat di depan matanya, mengangkat tangannya yang memegang pisau dapur, bersiap menghabisi nyawa Vonny tanpa ragu.
"JANGAN!"
Vonny memejamkan matanya, menunggu, namun waktu seolah berhenti. Ia membuka mata, melihat Novi di hadapannya terjatuh, membeku! Ia segera menoleh dan melihat Yuni memegang Freeze Note dan sebuah pena. Dan halaman baru sudah terbuka di Freeze Note, di baris pertama tertulis nama sahabat mereka, "NOVIANNA WIJAYA"... who's next?
Bersambung