Chap 6:Blood
***
Lukas's POV*
Aku duduk di bangku rumah sakit, menunggui Novi dan Yunii yang terbaring dengan wajah pucat di rumah sakit. Grit dan Stella menemaniku sementara Vivian dan Vonni sedang pergi membeli makanan kecil di supermarket dekat sini.Sejujurnya, sepertinya Vivian masih sangat shock atas peristiwa yang menimpa kami saat di taman. Novi melindunginya, dengan taruhan punggungnya.Sementara Yuni masih belum sadar dari pingsannya.
Tanpa sadar airmataku menetes, aku tidak kuat melihat kedua sahabatku terluka seperti ini. Apalagi dokter mengatakan kalau tusukan pisau itu mengenai syaraf tulang punggung Novi dan mungkin membuatnya tidak akan bisa bergerak selama 2-3 bulan.
"Kas." Grit mengulurkan tangannya ke arah bahu kiriku yang gemetar, aku berpaling dan menatapnya dengan tatapan sedih. "Jangan biarin kejadian ini matahin semangat lu,Kas."
"Gua tau, tapi..." Aku berusaha menjawab dengan suara sepelan mungkin karena aku yakin suaraku pasti akan terdengar bergetar dicampur dengan isak tangis.
"Ga ada tapi Kas, lu masih ingat dulu janji kita kan? Apapun keadaannya, kita akan merubah dunia!" Stella juga turut menyemangatiku seraya mengulurkan tangannya dan mengelus bahu kananku. Benar, aku tidak boleh cengeng sebagai seorang dewa di dunia yang baru.
"Iya, gua bakal coba untuk kuat." Jawabku sambil tersenyum pada mereka berdua. "Thanks Grit, Stella."
"Itu gunanya teman, Kas." Jawab Grit, kali ini usapan pelan di bahuku berganti dengan tepukan ringan.
"Sejak kapan kalian berteman?" Goda Stella seraya menatap jahil pada kami, Grit berdehem dan memelototi Stella. "Apa lu?" kata Stella, balas menatap Grit. Aku hanya mengumbar senyum kecil yang penuh arti.
***
Vivian's POV.
"Vi! Kita balik ke rumah sakit yuk!"
Aku tersadar dari lamunan karena tepukan Vonny di bahuku. Kami sudah selesai berbelanja dan akan segera kembali ke rumah sakit untuk menyerahkan beberapa barang yang dititip kepada kami untuk dibeli. Kini, aku dan Vonny sedang berjalan-jalan mengamati sebuah sirkus keliling, padahal tadi kami hanya kebetulan lewat untuk memotong jalan.
"Ah iya, yuk." Jawabku canggung, aku menatap ke arah sebelah kiriku lagi, di sana terpampang sebuah tenda besar dengan kain berwarna hitam. Entah kenapa tenda ini seperti menghipnotisku untuk memasukinya. "Eh Von." Gumamku saat Vonny mulai melangkah pergi.
"Hm?" Vonny memalingkan wajahnya dan menatapku.
"Ehmm... gua mau lihat-lihat tenda ini bentar, bisa lu balik dulu? Ntar gua nyusul deh, maaf ngerepotin elu." Aku berusaha memohon sesopan mungkin pada Vonny, Vonny hanya tersenyum, mendekatiku, mengambil plastik berisi barang belanjaanku dan berbisik. "Jangan kelamaan kalau ngelihat cowo ganteng di sini." Tangannya mencubit pelan perutku.
"Ahh, Vonny."
"Bercanda." Ia berjalan pergi, menjulurkan lidahnya padaku dan hanya kubalas dengan senyuman termanis yang bisa kutunjukkan saat itu, aku kemudian memalingkan wajahku lagi ke tenda tersebut. Hawa tidak enak memancar dari tenda yang misterius itu. Sejak kecil aku memang bisa merasakan sedikit hal
mistis tapi aku tidak menyangka hawa dari tempat ini akan begitu memicu
kemampuanku untuk bereaksi.
Aku menelan ludah, kemudian memacu kakiku ke depan pintu masuk tenda, tanganku menyingkap tirai yang menjadi tempat masuk tenda aneh tersebut. Gelap, aku merogoh
handbag bermerek
guess milikku dan mengeluarkan sebuah senter kecil dan menyorotkan ke sekeliling tenda itu, sepertinya tenda aneh itu adalah tenda pertunjukan sulap. Aku bisa melihat beberapa peti mati, pedang, boneka, dan topeng-topeng mengerikan tergantung di atas langit-langit dengan tali tipis yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.
"Tidak ada apa-apa di sini." Pikirku, aku mematikan senter dan memasukkannya kembali ke tasku. Tiba-tiba saja terdengar bunyi yang keras. Saat aku menoleh, peti mati yang tergantung di atas langit-langit ternyata jatuh ke panggung pertunjukan. Aku berniat untuk cuek, tapi... pintu peti mati itu terbuka pelan.
"Selamat datang di pertunjukan sulap neraka." Terdengar suara yang berdesis dari dalam peti mati tersebut, sebuah sosok membuka tutup peti. Ia memakai jubah hitam yang berkerudung, nyaris menutupi seluruh tubuhnya. Aku berniat mengintip wajahnya melalui sela-sela kerudung, tapi percuma... selain karena kerudungnya terkesan
rapat penerangan saat itu juga tidak memungkinkan untukku melihat wajah sosok aneh itu. "
Apa yang kau cari akan kau dapat, namun apa yang kau dapat selama ini akan menghilang sedikit demi sedikit, sekarang katakan padaku apa yang kau cari."
"Aku..." Suaraku tertahan tepat di kerongkonganku, perlahan-lahan gas putih keluar dari sudut-sudut tenda. Aku merasakan badan dan mataku semakin berat.
"Kalau tidak mencari sesuatu kami akan memberi pelayanan khusus." Suara sosok misterius itu menggema sekali lagi di sirkus ini. "Kami akan menghilangkan sesuatu dari diri anda, dan prinsip kami adalah:
Sesuatu yang sudah hilang tidak akan pernah kembali."
"Uhukk! Uhukk!" Aku terbatuk pelan, saat aku melihat tanganku... darah? Tapi aku sudah terlalu lemah untuk berpikir, apa yang akan mereka lakukan padaku? Apa mereka akan membunuhku? Seseorang tolong aku, Novi, Yuni, Grit, Stella, Vonny, Lukas...
***
Grit POV*
[Grit...] Suara Vivian menggema di kepalaku.
"Vivi dalam masalah!" Aku segera bangkit berdiri sebelum Lukas, Vonny, Stella sempat mencerna kata-kataku. Aku berlari keluar kamar itu dengan jaket di tanganku, suara langkah kaki Lukas, Stella, dan Vonny terdengar di belakangku, dan aku tahu mereka pasti sedang kebingungan sekarang. Ya, sama seperti Vivian, aku adalah orang yang memiliki bakat spiritual juga. Dan sebagai sesama orang yang
istimiewa entah kenapa kami bisa terhubung oleh sebuah ikatan yang tidak bisa dijelaskan.
Aku berlari ke lapangan parkir, mengeluarkan kunci motor dan segera melompat ke atas motor
Minerva milikku, mengenakan helm berwarna silver dan tanpa berlama-lama melesat keluar dari lapangan parkir. Di belakangku, mobil
Lamborghini milik Stella dan motor
Ninja Warrior milik Lukas mengikutiku dengan kecepatan yang sama dengan motorku.
"Brrrmmm!' Aku tidak sempat menjelaskan, segera memasukan gigi motor dan melesat lebih cepat. Instingku akan membawaku ke Vivian, pasti!
[Grit, lu pikir cuma lu yang ngerasain?] Terdengar suara di kepalaku, kaget aku memperlambat kecepatan motorku dan melihat ke belakang, Lukas, Stella, dan Vonny mengacungkan jempol dari kendaraan mereka masing-masing, begitu rupanya... mereka juga manusia yang istimewa.
[Dimana dia Kas, bisa lu deteksi?] Pikirku, terdengar dengusan sinis Lukas di kepalaku.
[Titik X379, Y176,12, arah barat daya. Stella dan Vonny pergilah dari arah yang berlawanan.] Terdengar suara Lukas lagi, aku tersenyum dan tanpa kusadari kecepatan motor Lukas sudah menyamai kecepatan motorku, ia mengacungkan jempol di sampingku.
[Siap untuk balapan?] Lukas menantangku lewat percakapan di pikiran kami.
[Menarik!] Aku segera memasukan gigi motor dan melepaskan kopling. Lukas melakukan hal yang sama, dan tanpa aba-aba kami sudah melesat ke tempat Vivian berada.
***
Pandora Circus, 3rd Person POV*
"Nghh..." Vivian membuka matanya yang masih berbayang, menatap ke sekeliling, tangannya diikat dengan tali panjang di langit-langit dan dia berada di tengah panggung pertunjukan.
"Sudah sadar gadis kecil?" terdengar suara orang yang tadi
mengerjai Vivian, Vivian segera menoleh dan melihat orang berkerudung yang tadi."Sepertinya sebentar lagi kau akan kehilangan sesuatu yang berharga."
"Apa yang kamu mau!?" Tanya Vivian dengan ketus, sosok itu tertawa, tertawa penuh keangkuhan. Kemudian dia memperlihatkan sebuah kalung di tangannya."Ahh!" Geram Vivian, wajahnya segera berubah menjadi garang.
"Hyahahaha, benda ini sangat berharga bagimu ya?" pria itu menjilat batu kristal yang menjadi mata kalung itu, wajah Vivian semakin garang, ia mencoba melepas ikatan di tangannya. Matanya berubah menjadi merah seperti saat ia membaca nama orang yang menculik Yuni, namun kali ini ia tidak bisa melihat nama orang itu. "Percuma, aku sudah tahu semua rahasia kalian, dan kesimpulanku adalah... kau cuma gadis biasa tanpa buku itu dan matamu hanya akan melihat kegelapan jika kau tidak menatap langsung wajahku."
Vivian mendesis, kali ini desisannya terkesan pelan dan lembut. Namun matanya semakin memerah karena kebencian pada pria itu. Kalung itu, ya... kalung pemberian ibunya pada ulang tahunnya yang ke 10, harta yang sangat berharga kini dijilat oleh lidah orang yang lebih mirip ular beracun tersebut.
[Hai] Perlahan di kepala Vivian terdengar suara yang pelan, segera saja ia tersenyum.
"Apa yang lucu?"
[Kenapa lama sekali?]
[Kami membuat persiapan.]
[Untuk apa?]
"Aku akan membunuhmu lho klo diam terus." sosok itu sepertinya sudah mulai kesal, ia mendekati Vivian dan mencengkeram pipinya dengan tangan kirinya, tangan kanannya masih menggenggam erat kalung itu.
"Crattt!"
Vivian tersenyum, kini ia tahu apa yang dimaksud
persiapan oleh Grit dan Lukas barusan. Panggung utama dikotori oleh darah sang pesulap yang kini terbaring tidak bernyawa dengan kepala yang tertebas oleh pedang Grit tadi. Ternyata Grit dan Lukas masuk melalui atas, dan menghabisi pesulap itu dengan pedang yang digantung di langit-langit.
Grit memotong tali yang mengunci gerakan tangan Vivian kemudian membuang pedang tersebut ke lantai pertunjukan, namun Lukas segera menangkap pedang tersebut dan menghunusnya setelah membersihkan darahnya.
"Ada apa Kas?" Grit melepas ikatan tali tersebut seraya menatap Lukas dengan heran.
"Ini belum selesai, pertunjukan utama akan dimulai sekarang."
Benar apa kata Lukas, sesaat kemudian sosok berkerudung yang lain muncul, dan ternyata yang tadi ditebas oleh Grit hanya berupa sebuah boneka yang diisi dengan saus tomat dan dikendalikan dengan remote control.
"Grit, bawa Vivian keluar dari sini."
"Tapi..."
"Ini perintah."
Grit terdiam, dan segera menggendong Vivian. Vivian menatap ke arah Lukas lagi, pandangan matanya terlihat serius namun sesaat kemudian mereka sama-sama tersenyum.
[Jangan mati, Kas.]
Lukas nyengir sekali lagi, kemudian berpaling dan menghadap... ng? Tidak ada orang di sana.
"Buakk!"
"Uhuk!"
Sosok tersebut dengan cepat sudah menendangnya dari belakang. Lukas mempererat pegangan pada pedangnya dan berniat menebas sosok tersebut,namun pesulap yang lebih mirip atlet karena kecepatannya itu segera melompat ke depan Lukas sekali lagi. Lukas mengelap bibirnya, darah... pasti bukan tendangan sembarangan.
"Lukas, lu gapapa?" Tanya Grit di pintu masuk sirkus tersebut.
"Pergi!"
"Kalau ga menang gua bunuh lu!" Akhirnya Grit menghilang keluar dari tenda tersebut, Lukas melepas jaketnya yang berlumuran darah dari mulutnya tadi, kemudian membuangnya ke tanah, menyisakan kaos tipis berwarna hitamnya.
"Sepertinya ini akan menjadi pertarungan 1 lawan 1 ya?" Lukas menatap sinis sosok itu, sosok itu tertawa, lebih keras dari sebelumnya, kemudian menjawab. "Tidak juga."
"Apa maksudmu?"
"Mungkin kau bisa menghindar dariku... tapi mereka tidak!"
Sosok itu mengambil dua buah pisau kecil dan melemparnya ke tumpukan kardus di belakangnya, ternyata Vonny dan Stella bersembunyi di sana.
"Bodoh!" Bentak Lukas, ia segera membuang pedang tersebut dan berlari ke arah mereka. Dengan cepat ia berhasil menyamai kecepatan lemparan pisau itu, ia berhasil menghentikan satu pisau, namun pisau yang satunya sudah berada dekat dengan mereka. "Tidak ada waktu!"
Lukas berlari ke depan kardus tersebut, kemudian berbalik.
"Jleb!"
BERSAMBUNG

POSTED BY ИσρнιЄ ѲЄι あやか AT 09:14 |
? Older posts
Newer posts ?